“Mana jeruknya nak,” ibu bertanya dengan wajah berharap pada Andri yang pulang dari supermarket dengan tangan kosong. Dalam genggaman Andri hanya ada satu botol coca-cola, makanan hotdog kesukannya lalu beberapa buku tulis pesanan adiknya dan sekeranjang bahan makanan berupa telur dan roti. Itu saja yang dia bisa beli dan dengan wajah cemas karena khawatir dimarahi oleh ibunya sang anak remaja menjawab lirih ”jeruknya seperti apa bu, berapa banyak, berapa harganya, aku bingung karena harus ambil jeruk sendiri dan juga takut salah, karena di supermarket kan tidak ada yang jagain, aku juga bingung mau ambil berapa buah dan nimbang dimana, aku juga gak tahu, maafkan aku ya bu, aku tidak beli jeruk pesanan ibu..”
Masya Allah, ibu yang tadinya mau marah menjadi tidak marah, karena dipikir-pikir alasan si anak masuk akal juga, jeruk itu harus seperti apa, walau ibu sudah menerangkan beli jeruk sunkist buat diperas namun anak-anak remaja di perkotaan seringkali tidak mampu atau hanya untuk beli beras sekalipun, beda dengan anak-anak di kampung yang bisa survive untuk hidup walau tidak berkenalan dengan teknologi blackberry maupun laptop dan sejenisnya namun kepekaan dan kemampuan dalam menghadapi hidup lebih besar daripada anak-anak perkotaan. Sangat lucu dan miris sebetulnya melihat anak berbadan besar yang sebetulnya pun sudah boleh dinikahkan, mengingat usianya yang sudah akil baligh namun tidak tahu bagaimana cara membeli jeruk.
Ternyata ilmu tidak hanya matematika saja, membeli jeruk pun juga merupakan ilmu dalam menyiapkan masa depan sang anak. Wallahu”alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar