Disleksia

ANITA kaget saat mendapat laporan bahwa Ryo, anaknya, sulit sekali diajari membaca dan menulis. Menurut gurunya, banyak sekali tulisan Ryo yang keliru, demikian pula bacaannya.

Ryo, kata gurunya, sering menggunakan huruf yang salah. Misal, ”buah duku” ditulis ”duah buku”. Kata ”mama” sering ditulis ”nana”.
Agar Ryo tak tertinggal dari teman-teman sekelasnya, gurunya sudah memberi les privat. Namun, hasil yang dicapai tetap tidak maksimal. Pihak sekolah lalu meminta Anita lebih intensif mengajari Ryo sepulang sekolah.
”Saya tahu bahwa Ryo agak susah baca dan tulis. Tapi, saya pikir itu wajar. Dia kan masih kelas 2 SD. Masih harus banyak belajar,” kata Anita. Apalagi, meski baca tulis belum betul, Ryo tergolong jago hitung-hitungan, terutama bila tidak harus menuliskannya.
Namun, dr Nining Febriyana SpKJ tak sepakat dengan Anita. Menurut Nining, Ryo memang masih kecil. Namun, ada tahap perkembangan anak. Jika rata-rata teman sebayanya sudah bisa membaca dan menulis dengan baik dan benar, sementara Ryo belum bisa melakukannya, berarti si bocah menderita sesuatu.
”Bila dilihat gejalanya, ada kemungkinan Ryo menderita disleksia,” jelasnya. Disleksia adalah gangguan pada bagian tertentu otak, terutama yang berhubungan dengan kemampuan bahasa, membaca, mengeja, dan menulis.
Penyebab gangguan tersebut, kata psikiater RSU dr Soetomo itu, belum jelas. Namun, beberapa penelitian menemukan, otak penderita disleksia mengalami hipovolume (ukurannya lebih kecil daripada normal). Karena ukurannya kecil, neurotransmitter yang merupakan penghubung saat ada sinyal, respons, dan sebagainya tak bisa optimal.
”Mengapa otak penderita disleksia bisa mengalami hipovolume juga belum jelas. Penelitian belum menegaskan apakah kasus itu berkaitan dengan pengaruh kecukupan nutrisi saat dalam kandungan atau faktor lain,” paparnya.
Gambaran klinis disleksia, lanjut Nining, adalah anak sulit membaca, menulis, dan mengeja. Sebab, anak bingung membedakan antara kiri dan kanan. Atau, tampilan huruf terlihat sama di mata mereka. Misal, M dan N. Huruf M yang berkaki tiga dan N yang berkaki dua dianggap sama. Demikian pula b dan d. Huruf b yang ”perut”- nya di kanan dan d yang ”perut”-nya di kiri terlihat sama. ”Akhirnya, ya seperti yang dialami Ryo itu. Menulis "buah duku” keliru ”duah buku”. Saya yakin pengucapan buah duku juga salah,” ujarnya.
Anak disleksia, lanjut Nining, juga tak bisa berbicara dengan baik. Banyak pengucapan kata yang tak sesuai artinya. Perbendaharaan kata anak disleksia minim. Bila diajari bahasa asing, anak akan kian sulit memahami. ”Kalau sudah begini, anak harus segera ditangani agar tak terlalu jauh tertinggal dari teman-temannya,” tuturnya.
Problemnya, tak banyak orang tua yang paham disleksia. Anita, termasuk yang tak memahami gangguan tersebut. Dia tidak tahu anaknya menderita disleksia dan harus segera ditangani. Sulitnya lagi, belum banyak guru yang tahu tentang disleksia. Akibatnya, mereka juga tak bisa mengenali anak didiknya yang menderita disleksia.
"Disleksia memang tak memperlihatkan gejala klinis seperti orang sakit. Misal, pilek diawali dengan suhu tubuh meninggi, sering bersin, hidung tersumbat, dan sebagainya. Pada disleksia, tidak ada gejala begitu,” kata Nining. Akibatnya, disleksia dianggap bukan ”penyakit” yang harus diobati.
Atau, lanjut Nining, orang tua mungkin tahu anaknya mengalami gangguan membaca, menulis, dan mengeja. Namun, mereka tak tahu harus ke siapa untuk menangani keluhan tersebut. Datang ke psikiater atau psikolog.
”Masih ada yang menganggap datang ke psikiater hanya untuk penderita gangguan jiwa. Itu yang membuat orang tua tak terpikir membawa anaknya yang mengalami disleksia berobat ke siapa,” ungkap alumnus FK Unair tersebut.
Bila berobat ke psikiater, lanjut Nining, anak akan menjalani serangkaian tes untuk menegakkan diagnosis. Antara lain, membuat garis lurus. Penderita disleksia tak bisa membuat garis lurus. ”Pasti ada garis yang naik atau turun. Sebab, penderita disleksia juga menderita gangguan keseimbangan,” jelasnya.
Meski begitu, terang dia, disleksia bisa diatasi. Salah satunya, terapi belajar dan perilaku. Misal, membedakan tangan kanan dan kiri. Tangan kanan diberi tanda karet merah, sedangkan yang kiri diberi tanda karet biru.
Anak lalu diminta memegang pensil dengan tangan kanannya. Berarti, pensil dipegang tangan yang diberi tanda karet merah. ”Itu salah satu terapinya. Masih banyak terapi lain,” jelasnya.
Lama terapi penderita disleksia, lanjut Nining, tak bisa dipastikan. Bergantung berat ringannya, support keluarga, dan kemampuan masing-masing anak. ”Tiap anak sangat individualis. Tak bisa disamakan,” tandasnya.
sumber : JPNN


JENIS-JENIS DISLEKSIA ................!

Posted by Emmy on Mar 12, '08 1:38 PM for everyone
Tidak semua anak disleksia memperlihatkan seluruh gejala, yang mencirikan adanya disleksia ringan, sedang, hingga berat.

Sebagian ahli membagi disleksia sebagai visiual, disleksia auditori dan disleksia kombinasi (visual-auditori). Sebagian ahli lain membagi disleksia berdasarkan apa yang dipersepsi oleh mereka yang mengalaminya yaitu persepsi pembalikan konsep (suatu kata dipersepsi sebagai lawan katanya), persepsi disorientasi vertical atau horizontal (huruf atau kata berpindah tempat dari depan ke belakang  atau sebaliknya, dari barisan atas ke barisan bawah dan sebaliknya), persepsi teks terlihat terbalik seperti di dalam cermin, dan persepsi di mana huruf atau kata-kata tertentu jadi seperti “ menghilang.”
Siapa saja yang dapat mengalami disleksia?
Siapa saja, tanpa memandang jenis kelamin, suku bangsa atau latar belakang sosio-ekonomi-pendidikan, bisa mengalami disleksia, namun riwayat keluarga dengan disleksia merupakan factor risiko terpenting karena 23-65% orangtua disleksia mempunyai anak disleksia juga.
Pada awalnya anak lelaki dianggap lebih banyak menyandang disleksia, tapi penelitian – penelitian terkini menunjukkna tidak ada perbedaan signifikan antara jumlah laki dan perempuan yang menglami disleksia. Namun karena sifat perangai laki-laki lebih kentara jika terdapat tingkah laku yang bermasalah, maka sepertinya kasus disleksia pada laki-laki lebih sering dikenali dibandingkan pada perempuan.
Bisa sembuh kah? 
Penelitian retrospektif menunjukkan disleksia merupakan suatu keadaan yang menetap dan kronis. “Ketidak mampuannya” di masa anak yang nampak seperti “menghilang” atau “berkurang” di masa dewasa bukanlah kareana disleksia nya telah sembuh namun karena individu tersebut berhasil menemukan solusi untuk mengatasi kesulitan yang diakibatkan oleh disleksia nya tersebut.
Mengingat demikian “kompleks”nya keadaan disleksia ini, maka sangat disarankan bagi orang tua yang merasa anaknya menunjukkan tanda-tanda seperti tersebut di atas, agar segera membawa anaknya berkonsultsi kepada tenaga medis profesional yang kapabel di bidang tersebut. Karena semakin dini kelainan ini  dikenali, semakin “mudah” pula intervensi yang dapat dilakukan, sehingga anak tidak terlanjur larut dalam kondisi yang lebih parah.
Apa yang dapat dilakukan
  • Adanya komunikasi dan pemahaman yang sama mengenai anak disleksia antara orang tua dan guru
  • Anak duduk di barisan paling depan di kelas
  • Guru senantiasa mengawasi / mendampingi saat anak diberikan tugas, misalnya guru meminta dibuka halaman 15, pastikan anak tidak tertukar dengan membuka halaman lain, misalnya halaman 50
  • Guru dapat memberikan toleransi pada anak disleksia saat menyalin soal di papan tulis sehingga mereka mempunyai waktu lebih banyak untuk menyiapkan latihan (guru dapat memberikan soal dalam bentuk tertulis di kertas)
  • Anak disleksia yang sudah menunjukkkan usaha keras untuk berlatih dan belajar harus diberikan penghargaan yang sesuai dan proses belajarnya perlu diseling dengan waktu istirahat yang cukup.
  • Melatih anak menulis sambung sambil memperhatikan cara anak duduk dan memegang pensilnya. Tulisan sambung memudahkan murid membedakan antara huruf yang hampir sama misalnya ’b’ dengan ’d’. Murid harus diperlihatkan terlebih dahulu cara menulis huruf sambung karena kemahiran tersebut tidak dapat diperoleh begitu saja. Pembentukan huruf yang betul sangatlah penting dan murid harus dilatih menulis huruf-huruf yang hampir sama berulang kali. Misalnya huruf-huruf dengan bentuk bulat: ”g, c, o, d, a, s, q”, bentuk zig zag: ”k, v, x, z”, bentuk linear: ”j, t, l, u, y”, bentuk hampir serupa: ”r, n, m, h”.
  • Guru dan orang tua perlu melakukan pendekatan yang berbeda ketika belajar matematika dengan anak disleksia, kebanyakan mereka lebih senang menggunakan sistem belajar yang praktikal. Selain itu kita perlu menyadari bahwa anak disleksia mempunyai cara yang berbeda dalam menyelesaikan suatu soal matematika, oleh karena itu tidak bijaksana untuk ”memaksakan” cara penyelesaian yang klasik jika cara terebut sukar diterima oleh sang anak.
  • Aspek emosi. Anak disleksia dapat menjadi sangat sensitif, terutama jika mereka merasa bahwa mereka berbeda dibanding teman-temannya dan mendapat perlakukan yang berbeda dari gurunya. Lebih buruk lagi jika prestasi akademis mereka menjadi demikian buruk akibat ”perbedaan” yang dimilikinya tersebut. Kondisi ini akan membawa anak menjadi individu dengan ”self-esteem” yang rendah dan tidak percaya diri. Dan jika hal ini  tidak segera diatasi akan terus bertambah parah dan menyulitkan proses terapi selanjutnya. Orang tua dan guru seyogyanya adalah orang-orang terdekat yang dapat membangkitkan semangatnya, memberikan motivasi dan mendukung setiap langkah usaha yang diperlihatkan anak disleksia. Jangan sekali-sekali membandingkan anak disleksia dengan temannya, atau dengan saudaranya yang tidak disleksia.

Referensi :
·     J.H. Menkes, H.B. Sarnat B.L. Maria (2005). Learning disabilities, dalam: JH. Menkes, HB. Sarnat (penyunting). Child neurology, edisi ke-7. Lippincott Williams and Wilkins, Philadelphia.
·         Sally, Shaywitz, Bennett (2006). Dyslexia, dalam: KF. Swaiman, S. Ashwal, DM. Ferreier (penyunting). Pediactric neurology principles and practice, volume 1, edisi ke-4, Mosby, Philadelphia
·         S. Devaraj, S. Roslan (2006). Apa itu disleksia, panduan untuk ibu bapa, guru, dan kaunselor, dalam S. Amirin (penyunting). PTS Profesional, Kuala Lumpur.
·       G. Reid (2004). Dyslexia: A complete guide for parents. John Wiley and Sons, Ltd, England
·         R. Frank (2002). The secret life of dyslexic child, a practical guide for parents and educators. The Philip Lief Group, Inc, 2002.

 Sumber : Anakku / edisi 02/IV/Februari 2008