Jumat, 14 Januari 2011

Anak Sulungku

Matanya bekerjap-kerjap dan bibirnya terlihat bergetar, nampaknya anak lelaki berusia 11 tahun itu ingin mengucapkan sesuatu yang sulit untuk diucapkan. Keadaan mencekam yang tercipta pada pagi dingin tadi berlangsung hingga sekarang didalam rumah sehingga membuat suasana tidak nyaman.
Sang ibu terlihat sibuk menyiapkan sarapan dengan tangan yang masih penuh remah-remah roti. Celemek lusuh yang sesekali diangkatnya ke atas untuk menyeka keringat dan wajah masam sang ibu dengan bibir yang tertekuk semakin menyiratkan kegelisahan, membuat sang anak menjadi semakin merasa bersalah dan tidak enak hati atas apa yang terjadi di rumah itu.
              Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi, dan sekitar 10 menit lagi akan ada kereta api yang lewat yang akan menolong anak lelaki kecil itu berangkat menuju ke sekolahnya, namun tidak akan cukup waktu baginya untuk tidak datang terlambat ke sekolah sebelum ia berbicara dengan ibunya.
             Dengan kegelisahan yang semakin lama semakin memuncak dan diamnya sang ibu yang sibuk sendiri dengan wajah masam dan mulut cemberut tanpa suara sepatahpun, membuat anak lelaki kecil yang sangat disayanginya dan juga diharapkannya menjadi semakin panik dalam kebisuan yang menyakitkan bagi dirinya.
            Akhirnya, dengan tidak tahan, sang anak menghampiri ibunya yang terlihat masih marah dalam diam. Dia mencoba untuk memeluk sang ibu namun dengan agak kasar ditepis tangan anaknya. Ketika anaknya sekali lagi meminta maaf atas kesalahannya yang sholat subuh kesiangan karena nonton bola semalam, juga kekhilafannya karena tidak membuat PR matematika yang ditekankan oleh gurunya berkali-kali, membuat sang ibu marah bukan kepalang, dan rasanya bagi si anak tidak ada maaf baginya.
          Anak kecil itu kemudian berlari keluar rumah dan dengan wajah menahan marah serta mata berkerjap-kerjap menindas air mata yang hendak keluar, sang anak bersumpah dalam hati akan membenci ibu yang telah menyakiti hatinya. Namun perasaan sayang dan cinta begitu kuat, sehingga sang anak tidak tahu kemana harus dilampiaskan perasaannya yang gamang itu.
          Sungguh sedih, ketika seorang anak berbuat kesalahan yang cukup fatal dimata orang tuanya dan sang anakpun sebenarnya sudah memohon maaf dan mengakui kesalahannya namun seringkali karena seorang ibu merasa bahwa dirinya adalah penguasa bagi anaknya, maka dia mampu untuk berbuat apa saja, termasuk mau memaafkan atau tidak atau bahkan diam saja dengan cara yang membimbangkan hati anak pra-remajanya. Apalagi, bila sang ibu hafal hadist yang berbunyi,
اْلجَنَّةُ تَحْتَ أَقْدَامِ اْلأُمَّهَاتِ
"Surga itu di bawah telapak kaki ibu."

maka sang anak, seperti merasa terancam akhir hidupnya ditangan seorang ibu yang mencintainya sekaligus menjadi penguasa baginya..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar