Jumat, 07 Januari 2011

Kami Terpacu Ulah Anakku!

Saya menyadari tidak akan hidup selamanya. Saya ingin ketika mati diiringi doa anak-anak yang sholeh dan sholehah

1 Desember 2004 adalah momen penting, di mana saat kehidupan saya berubah. Peristiwa ini terkait dengan kelahiran anak saya, Arvela Yasykhalis Risnandar.

Bertahun tahun tahun sebelumnya, jauh sebelum menikah, saya selalu berdoa kepada ya Allah seperti Nabiyullah Ibrohim as berdoa, "Ya Tuhanku, anugrahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shaleh." Doa ini aku panjatkan bertahun-tahun, bahkan sebelum aku mengenal istri pujaan hatiku.

Jauh sekali, bahkan di usia yang tak dibayangkan orang berpikir untuk menikah, ya, bahkan di saat aku masuh awal SMA.

Setelah penantian panjang bertahun-tahun, peristiwa itu makin terasa, terutama setelah kelahiran anak saya yang pertama. Sungguh saya tak menyangka  akibat doa yang singkat tersebut telah merubah semua sisi dalam kehidupan saya selama ini. Bahkan saya merasa jauh lebih baik.

Ketika awal-awal SMA, membaca al Quran, bagiku serasa seperti sebuah beban berat. Walaupun saya bisa membaca Quran sejak kecil, namun masih banyak yang tidak sesuai kaidah tajwid.

Saya pernah berfikir, bagaimana mungkin seorang membuat pemain sepakbola menjadi ahli dalam sepakbola sementara dia sendirinya tidak mengerti sama sekali tentang sepak bola? Bagaimana mungkin orang yang senantiasa melakukan dosa senantiasa juga mengajak orang melakukan kebaikan, bagaimana mungkin seorang ayah ketika ditanya anaknya tentang semua hal terutama masalah agama tidak bisa menjawab, dan yang paling penting, bagaimana mungkin seorang anak bisa menjadi sholeh/sholehah ditengah ayah dan ibu yang jauh dari agama?

Rupanya, Allah menuntun pergerakan kami berdus (saya dan istri) untuk terus memperbaiki diri. Pergerakan kami seolah berkejaran dengan pergerakan pertumbuhan Avey, anak saya. Dia semakin tumbuh besar, dan Subhannallah saya sangat bahagia dan begitu terharu melihat anak pertama saya ini, bagaimana mungkin yang dulu saya bayangkan, meminta seorang perempuan berkerudung, adalah hal yang sulit.

Faktanya, tidak demikian dengan Avey, satu langkah saja keluar pagar rumah dia tidak lupa untuk memakai jilbab, dan Ya Allah, bahagia hati ini dengan tidak adanya keluhan sama sekali dari anak saya ini.

Bahkan di saat-saat panas sekalipun, saya tak pernah mendengarnya berkeluh kesah. Saya tak pernah mendengarnya mengatakan, "Ayah panas yahh, yahhh geraaahhh yahhh.....” Tidak ada sama sekali.  Allah memudahkan kami menuntuk alam langkah awal mendidik anak kami.

Di usia dua tahun, ia  sudah hafal huruf hijaiyah, Alhamdulillah sekarang  sudah bisa mengaji dengan tajwid, walau masih ada yg harus dibetulkan sana sini, demikian dengan hafalan al-Qurannya.

Rupanya, perkembangan Avey, telah merubah semuanya. Ya, telah merubah seisi rumah, bahkan kehidupan kami.

Kami semua justru ingin merasa lebih baik darinya.  Semua sisi kehidupan saya seolah Allah arahkan untuk menjadikan anak saya menjadi anak sholehah. Allah seolah membisikkan di telinga kami, “jangan berharap hasil jika tak ada usaha.” Tentu saja, usaha itu harus diawali dengan memperbaiki diri kami sendiri bersama istri.

Akhirnya, “bisikan” itu membuat kami semua kembali rindu ilahi. Kami akhirnya kembali memperbaiki bacaan al-Quran di lembaga Tahsin Quran, kami juga membiasakan sebelum tidur baca al-Quran, mebiasakan memutar murotal al-Quran dll,  sebelum kami meminta anak kami baik,  kami berdua harus berkejar-kejaran dengan waktu, ya, kami harus lebih baik. Kami harus belajar dan belajar lagi sebelum akhirnya meminta anak kami lebih baik.

Saya menyadari saya tidak akan hidup selamanya. Saya hanya ingin yang sedikit saja agar didengar Allah, jika kelak saya meninggal ada yang menemani dalam perjalanan kematian saya, yaitu doa dari anak-anak yang sholeh/sholehah.
“Ya Allah kabulkanlah doa ku ini. Jadikan anak anaku para sahabat al-Quran dan para penghafal al-Quran.”

Saya ingat pesan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam: "Apabila seorang Muslim meninggal, maka amalannya terputus kecuali dari tiga perkara; sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya." (HR Abu daud no.2494)

Berusaha

Anak adalah amanah dan anak pun bisa menjadi fitnah bagi kita. Bukan jaminan bagi saya dengan melihat anak saya kelak akan menjadi anak sholeh/sholehah, namun ini adalah langkah awal, saya ingin karakter sholehah tebentuk sejak dini, tidak instant dipaksakan karena paksaan saya atau istri.

Saya hanya ingin menjadi orangtua yang tenang, tenang melihat anak anaknya berada dijalan Allah.

Tulisan ini bukan menunjukan keberhasilan saya sebagai orangtua, saya hanyalah salah satu dari orangtua  yang sangat khawatir akan gagal dalam mendidik anak-anaknya menjadi anak sholeh/sholehah. Karena itulah, segala upaya dari semua sisi harus saya  usahakan, soal hasil, terserah Allah yang menentukan.

Inti dari apa yang saya ceritakan ini adalah, Allah tidak serta merta membuat sesuatu yang kita minta menjadi nyata tanpa kita berusaha. Kadang, usaha yang tidak kita sadari menjadi sesuatu kebisaaan kita begitu mengena dalam sanubari kita untuk jangka waktu yang lama yaitu Doa. Untuk satu tujuan yang seperti sederhana dan dengan doa yang terlihat sederhana pula namun mengakibatkan perubahan hidup yang tidak sederhana.

Allah maha tahu proses apa yang harus dilalui untuk satu tujuan yang di mata kita terlihat "sederhana" yaitu mendapat anak yang sholeh/sholehah. Tujuan yang terlihat sederhana namun sebenarnya urusan yang melibatkan dunia akhirat dan kebadiannya kelak.

“Ya Allah, begitu banyak karunia yang telah Engkau berikan kepadaku, hingga aku tidak akan sanggup menghitung bahkan jika dihitung semua hidupku untuk bersyukur maka syukurku hanya setitik air dibanding nikmat-Mu seperti air lautan dialam luas.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar