Kamis, 17 Juni 2010

Menumbuhkembangkan Percaya Diri Anak

Anak-anak di Inggris dan Mesir sejak kecil sudah sangat percaya diri belajar bahasa Inggris atau Arab. Bagaimana di tempat kita? 

Oleh Mohammad Fauzil Adhim*

Seandainya setiap anak yang baru lahir tidak memiliki keberanian untuk mencoba, nis­caya tak ada yang dapat mereka lakukan. Seandainya anak-anak kita takut mengha­dapi kegagalan, niscaya mereka tak bisa berjalan hingga kini. Sebab, sekedar untuk berjalan saja, banyak kesulitan yang harus mereka hadapi dan tak sedikit rasa sakit yang harus mereka tanggung. Hidung mungkin sudah lebih dari sepuluh kali tersungkur ke tanah hanya karena mereka belajar merangkak. Lutut… entah berapa kali meng­alami luka. Tetapi anak-anak tak pernah putus asa. Anak-anak senantiasa bersemangat, sampai orangtua memadamkannya dengan alasan kasih-sayang.

Pada mulanya anak-anak tak peduli dengan pakaian yang mereka kenakan. Apa mereknya, mereka tak peduli. Mereka juga tidak pusing-pusing jika ada yang sobek di kiri dan di kanan. Mereka tetap saja melangkah dengan mantap karena mereka berpusat pada tujuan. Tidak sibuk membayangkan apa yang akan dikatakan orang. Mereka belajar dengan ikhlas. Tetapi orangtualah yang membuat mereka malu berangkat ke sekolah ka­rena sepatu yang dipakai tak sebagus teman-temannya.

Anak-anak di Inggris, sejak kecil sudah sangat percaya diri belajar bahasa Inggris. Begitu juga balita-balita di Mesir, usia TK bahasa Arabnya sudah lebih baik daripada anak-anak Madrasah Aliyah kelas dua. Mereka belajar dengan penuh semangat. Rasa percaya dirinya sangat kuat. Mereka tidak berpusing-pusing dengan tata bahasa, dan tidak khawa­tir salah mengucapkannya –karena umumnya orangtua menerima apa adanya kesalahan ucapan anak-anaknya yang masih bayi. Orangtua bahkan menanggapi dengan penuh antusias dan penghargaan yang tinggi setiap kali anaknya berani mencoba bicara. Tetapi ketika mereka mulai beranjak besar, kita mulai cerewet terhadap mereka. Karena takut anaknya bingung, mereka tak boleh belajar yang pelik-pelik. Sebaliknya, karena sangat ingin anaknya cerdas, mereka perintahkan anak-anak itu belajar mati-matian dengan cara yang tidak tepat. Tidak sebagaimana kodrat perkembangan belajar mereka. Alamiah, ber­sahabat, dan penuh semangat.

Astaghfirullahal ‘azhim… Alangkah jauh kita dari agama. Lebih-lebih yang me­nulis risalah ini.

Benarlah kata Buckminster Fuller. Ia pernah mengingatkan, “Setiap anak terlahir jenius, tetapi kita memupuskan keje­niusan mereka dalam enam bulan pertama.”

Ya, setiap anak. Siapa pun ia, sejauh lahir dalam keadaan mental yang normal, mereka adalah jenius-jenius besar yang sudah dibekali Allah dengan percaya diri tinggi, semangat besar, antusias, dan senantiasa belajar. Di usia-usia awal kehidupannya hingga menginjak tahun keenam, mereka belajar –meminjam istilah Glenn Doman— “tanpa usaha”. Saya tidak sepenuhnya sepakat dengan ungkapan Glenn Doman, tetapi ungkapan ini saya pakai untuk menunjukkan betapa anak-anak kita dikaruniai daya tangkap yang luar biasa atas setiap perkara yang kita ajarkan kepada mereka. Sengaja atau tidak.

Rangsangan yang kaya dan tepat di usia ini bukan saja membuat mereka lebih cerdas. Lebih dari itu potensi mereka sendiri berkembang. Salah satu potensi itu adalah IQ. Ini berbeda dengan orang dewasa. Usaha yang keras dalam belajar akan membuat kita lebih cerdas, tetapi IQ kita tidak akan bertambah. Perkembangan IQ sudah selesai pada usia 12 tahun, dengan rincian 90% perkembangan IQ tercapai pada usia 6 tahun dan 10% sisanya diselesaikan antara usia 6-12 tahun. Maka sungguh, rangsangan yang tepat di usia-usia awal akan sangat besar artinya. Dan itulah yang dilakukan oleh orangtua Imam Syafi’i rahimahullah sehingga anaknya hafal Al-Qur’an di usia tujuh tahun. Begitu pula yang dila­kukan oleh para orangtua generasi salafush-shalih. Tetapi bukan kita.

Astaghfirullahal-‘azhim. Orangtua macam apakah kita ini, ya Akhy? Ataukah kita menjadi orangtua semata-mata karena anak kita sudah lahir?

Betapa banyak suami yang menyandang gelar bapak hanya karena istrinya mela­hirkan. Sebagaimana banyak wanita disebut ibu semata-mata karena dialah yang melahir­kan. Bukan karena mereka menyiapkan diri menjadi orangtua. Bukan karena mereka me­miliki kepatutan sebagai orangtua. Dan saya tidak tahu, apakah yang menulis ini layak disebut orangtua ataukah hanya orang yang lebih tua dari anaknya.

Astaghfirullahal-‘azhim. Semoga Allah membaguskan amal-amal kita dan memba­guskan pendidikan anak-anak kita.

Hari ini banyak orangtua maupun guru yang gelisah bagaimana menjadikan anaknya percaya diri. Islam seakan-akan sudah tidak cukup lagi. Padahal, kita yang men­jadi penyebabnya. Kita ajarkan anak kita berjilbab agar mereka menjadi orang yang memu­liakan syari’at Allah semenjak usia mereka yang masih belia. Tetapi saat berbicara, bukan iman yang kita tanamkan, melainkan keinginan untuk memperoleh tepuk-tangan manusia yang kita bangkitkan. Kalau mereka tidak berjilbab, bukan kita ingatkan mereka tentang mahabbatullah, melainkan biar cantik dilihat orang. Maksud kita baik, tetapi yang kita te­riakkan, “Ayo, coba dipakai jilbabnya. Ih, jelek ah kalau nggak pakai jilbab.”

Begitu mereka memakai jilbabnya, segera saja kita memuji, “Nah…, gitu dong. Kalau pakai jilbab kan cakep. Cantik, kan?”

Ah, andaikan saja pujian yang jarang kita berikan pada anak itu lebih mengingat­kan mereka kepada Tuhannya, insya-Allah akan lain ceritanya anak-anak kita. Tetapi tidak. Kita lebih sering memuji mereka –meskipun tampaknya kita lebih sering mencela—dengan alasan-alasan yang tidak menghidupkan jiwa. Kalau memang memakai jilbab hanya untuk cantik, bukankah ada jalan lain agar tampil lebih cantik lagi daripada sekedar pakai jilbab?

Sebagaimana cara kita memuji anak saat pakai jilbab, seperti itu pula seringkali kita menganjurkan anak-anak berpakaian yang patut saat ke masjid. Kita suruh mereka pakai pakaian yang bagus biar tidak malu pada teman. Bukan karena Allah ‘Azza wa Jalla sudah berfirman, “Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) masjid. Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.” (QS. Al-A’raaf: 31).

Maka, bukan bunda salah mengandung kalau anak-anak itu akhirnya memiliki rasa percaya diri yang tanggung. Berbeda sedikit saja dengan temannya, sudah cukup un­tuk membuat mereka meringkuk di kamar. Tak berani berbaur dengan hati yang mantap. Apalagi menjadi sumber pengaruh yang baik bagi teman-temannya. Padahal mereka dila­hirkan untuk zaman yang bukan kita; zaman yang membutuhkan kekuatan jiwa lebih be­sar. Zaman yang membutuhkan orang-orang dengan percaya diri tinggi, cerdas akalnya, hidup jiwanya dan jernih hatinya. Mereka inilah yang siap untuk menyambut perintah, “Qum fa andzir. Bangunlah, lalu berilah peringatan.” Perintah-perintah di masa awal kena­bian Rasulullah tercinta, Muhammad shallaLlahu ‘alaihi wa sallam.

Lalu, apakah yang dapat kita lakukan untuk membangkitkan rasa percaya diri mereka? Jika perkataan saat menyuruh mereka mengenakan pakaian yang indah justru bisa menyebabkan mereka kehilangan rasa percaya diri yang kokoh, maka seruan Nabi SAW saat haji Wada’ adalah penguat jiwa-jiwa yang lemah. Mari kita renungkan kembali tatkala Nabi mengingatkan:

 “Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, kehormatan kalian, sama sucinya dengan hari ini, negeri ini, pada bulan ini. Sesungguhnya kaum Mukmin itu bersaudara. Tidak boleh ditumpahkan darahnya. Tuhan kalian satu. Bapak kalian semuanya Adam, dan Adam dari tanah. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah ialah yang paling takwa. Tidak ada kelebihan orang Arab di atas orang asing kecuali karena takwanya.  Apakah aku sudah menyampaikan kepada kalian?”

Inilah ajaran yang membuat sahabat-sahabat dengan pakaian kumal tidak malu mendatangi istana para kaisar. Inilah keyakinan yang membuat para salafush-shalih tidak kelu lidahnya melihat jubah-jubah kebesaran pada sultan. Inilah nasehat yang membuat setiap manusia merasa sederajat, tetapi di saat yang sama membuat mereka senantiasa merendah karena tak ada yang tahu siapa di antara mereka yang paling bertakwa. Sebab, ukuran takwa bukan terletak pada panjangnya jenggot, melainkan pada iman dan amal shalih yang berpijak di atas aqidah yang lurus.

Sungguh, saya bermimpi. Saya betul-betul sangat mengingini agar nasihat Nabi saw ini diajarkan kepada anak-anak semenjak usia pra-sekolah. Di SD-SD, TK dan play-group, anak-anak perlu belajar. Bukan untuk menjadi hafalan semata, tetapi untuk menjadi kekuatan dalam jiwanya. Kita ajarkan kepada mereka, matannya maupun maknanya.

Demi Allah, mereka inilah yang insya-Allah lebih bagus daripada generasi orang­tuanya semacam kita. Pada saatnya, biarlah kita menjadi catatan sejarah saja bahwa kita pernah ada. Tugas kita sekarang adalah menyiapkan mereka agar menjadi manusia-manu­sia yang menegakkan kalimat Allah di muka bumi dengan penuh percaya diri. Mereka tidak tunduk hanya karena takjub melihat Chinook. Mereka tidak lemah hanya karena mendengar nama Amerika.

Anak-anak kitakah yang akan seperti itu?  [sahid/www.hidayatullah.com]

Penulis adalah kolumnis di Majalah Suara Hidayatullah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar